Selasa, 27 November 2012

[PROFIL] Ita Sembiring, Penulis Setiap Tragedi - Tugas

'Penulis Setiap Tragedi', Itulah julukan yang diberikan wartawan kepada Ita Sembiring. Wanita kelahiran Medan, 45 tahun yang lalu ini memang ahli dibidang menulis kisah-kisah yang kerap terjadi disekitar kita sehari-hari dan dituangkannya menjadi novel yang menarik untuk dibaca.
Ita sudah menulis sejak ia duduk di bangku SD. Saat itu, Ita kecil menulis sebuah puisi tentang kampung halamannya dan dimuat di koran lokal di Medan, Sinar Indonesia Baru. Sejak dimuatnya puisi tersebut, Ita semakin giat menulis puisi dan cerpen. Saat ditanya mengapa ia suka menulis, ia menjawab bahwa saat ia menulis, ia mengalami kepuasan batin. “Kalau sedang menulis, rasanya seperti menjadi Tuhan. Karena kita bisa menciptakan dan mengatur tokoh kita sendiri.” ungkap S1 FISIP Universitas Indonesia tersebut.
Tekad Ita untuk menjadi seorang penulis novel semakin bulat ketika SMP, bungsu dari lima bersaudara ini diajak oleh kakak-kakaknya pergi menonton di salah satu bioskop. “Waktu itu, kita pergi ke bioskop kecil, nonton film yang berkesan banget, judulnya Best Seller. Film tentang kakek tua yang kekeuh menulis sampai tulisannya jadi buku. Bener aja, bukunya jadi best seller. Keluar dari bioskop, saya ingat sekali, saya bertekad untuk jadi seperti kakek itu. Suatu saat, nama saya harus ada di buku.” ujar pengagum tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer dan Mario Puzo itu.
Tahun 1998 menjadi tahun yang tak terlupakan bagi ibu dua anak ini. Buku pertamanya, Catatan dan Refleksi Tragedi Jakarta, 13-14 Mei ’98 diterbitkan. Waktu itu, Ita yang baru kembali dari kampus, terjebak di jalan karena adanya kerusuhan dimana-mana. Disaat terjebak itu, Ita teringat pada Zlata Filipović yang terkenal dengan Zlata’s Diary-nya, menuangkan catatan hariannya menjadi sebuah buku. Ita pun berpikir, jika Zlata bisa, mengapa ia tidak mencoba menulis Catatan Tragedi. Jadilah ketika itu, ia membuat tulisan-tulisan kecil mengenai apa yang ia lihat, apa yang ia dan korban lainnya alami. “Saya naik mobil pick up sama orang-orang lain, saya ngeliat sendiri kerusuhan itu, dimana-mana kebakaran. Saya bikin notes-notes kecil didalam mobil. Semua yang saya lihat dan alami, saya tulis.” cerita wanita yang pernah tinggal di Belanda selama 7 tahun itu. Begitu sampai dirumah, ia langsung mengetik dan mencetaknya. Setelah tulisannya rampung, langsung ia serahkan ke penerbitan. Buku tersebut disetujui dan langsung diterbitkan. Dua minggu setelah terbit, langsung cetakan kedua. “Benar-benar surprise banget, kayak mimpi. Akhirnya impian saya terwujud. Nama saya ada dibuku itu hehehe...” ucapnya sambil tersenyum.
Tidak berhenti sampai disitu, wanita berdarah Medan-Belanda ini terus menulis tentang kejadian-kejadian yang terjadi. Seperti novelnya, Negeri Bayangan: Terrorist Free, yang menceritakan tentang tragedi WTC 11 September. Juga novel No Velvere: Biarkan Aku Pulang, yang diangkat dari kerinduan Ita akan Tanah Air ketika ia tinggal di Belanda. Tidak heran, Ita dijuluki ‘penulis setiap tragedi’ karena kerap menulis tragedi-tragedi yang terjadi. “Saya kalau nulis, 90% kisah ‘nyata’” ujar Ita sambil membuat tanda kutip dengan jarinya.
Dalam salah satu bukunya bersama Muhammad Misrad, Jakartaku Harapanku, Ita mencoba membuat coretan menjadi buku. Berawal dari coretan warga Jakarta tentang usulan dan uneg-uneg seputar Jakarta melalui spanduk putih besar yang dibentangkan di Bundaran Hotel Indonesia saat memperingati HUT DKI Jakarta tahun lalu. Ita yang ikutan mengisi spanduk tersebut mendapat ide untuk menuangkannya menjadi sebuah buku. Ita pun mengajak Mice, begitu biasa Muhammad Misrad disapa, untuk menggarapnya. “Saya bekerja sama dengan Ita dalam pembuatan buku ini karena menurut saya gaya bahasa Ita yang enak, santai namun lugas, cocok dengan gambar-gambar saya. Ita juga penulis yang baik, easy-going. Sehingga bekerja sama dengan Ita terasa mengasyikkan.” jawab komikus itu ketika ditanya bagaimana kesannya bekerja sama dengan Ita Sembiring, via e-mail beberapa waktu lalu.
Ita mengaku, ia jarang sekali menulis sambil berimajinasi. Ita juga bercerita, bahwa tidak ada mood khusus untuknya dalam menulis. Ia dapat menulis kapan dan dimana saja. Ketika ditanya soal inspirasi, wanita yang hobi menari ini berkata, disaat sedih dan tertekan pun, kita bisa mendapat inspirasi, jadi jangan takut untuk menulis hanya karena belum mendapat ide. Kejadian-kejadian kecil jika dirangkai dengan indah juga bisa menghasilkan tulisan yang baik, seperti buku Jakartaku Harapanku. “Tinggal kita yang mau apa enggak mempublishnya.” ujarnya. “Orang-orang  sudah takut duluan sebelum mencoba. Padahal, kita belum tahu nantinya, siapa tahu bisa jadi best seller ‘kan...” tambah Ita, yang juga mengajar creative writing ini. “Saya mengajar creative writing bukan ngajarin mereka teknik nulis, tapi bagaimana membangun rasa percaya diri dalam menulis.” ungkapnya. Karena menurut Ita, biasanya yang sulit adalah membangun rasa percaya diri tersebut. Maka, saran Ita kepada para penulis muda, jangan takut dengan adanya perubahan, melainkan buatlah perubahan dan jadilah bagian dari perubahan itu. Yakin bahwa buku yang dibuat tersebut pasti akan ada yang membaca, walaupun hanya 1 dari 10 orang. Serta jangan lupa percaya diri. Karena kalau diri sendiri kita tidak yakin akan buku kita sendiri, bagaimana orang lain akan menghargainya juga. “Saya waktu itu sih maju aja terus, soal diterima atau ditolak urusan belakang, yang penting usaha dulu. Kalau ditolak, ya revisi lagi, kirim lagi, sampai bukunya terbit.” kata Ita sambil tertawa.

Bu Ita ini emm sumber inspirasi deh, beliau kalau ngobrol asik banget terus berkomunikasinya juga baik sekali hehehe cocok deh jadi PR Manager di sebuah perusahaan MLM terkemuka internasional :D

banyak banget quote-quote dari Bu Ita yang bagus, dan bisa jadi pedoman buat kita juga hehehe yang penting TERUS BERUSAHA dan jangan pantang menyerah! :)

Love L


xxx


image source : facebook/google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar